Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
DANNY AJAR BASKORO

Powered by Blogger

Jumat, 20 Maret 2009

Ikhtisar Keilmuan


Manusia adalah makhluk yang berfikir. Melalui fikirannya menumbuhkan rasa ingin tahu. Dengan rasa ingin tahunya mendorong manusia untuk mengembangkan daya nalarnya. Melalui daya nalarnya pengetahuan manusia terus berkembang. Ilmu pengetahuan, teknologi turut berkembang, dan kebudayaan manusiapun turut berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Teknologi sebagai suatu kegiatan mendorong pertumbuhan ekonomi, dan bersama-sama dengan ilmu pengetahuan berakibat mempercepat laju perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Sebagai suatu system teknologi memerlukan dukungan ilmu pengetahuan. Teknologi dapat berkembang secara paralel dengan ilmu pengetahuan. Teknologi mempunyai 3 aspek yaitu: aspek teknik, aspek kebudayaan dan aspek organisasi. Teknologi sebagai system ketrampilan praktis tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Teknologi berinteraksi dengan system yang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Perkembangan teknologi mula-mula hanya mengambil alih berbagai fungsi manusia yang berupa kemampuan fisik, tetapi akhir-akhir ini fungsi manusia yang berupa kemampuan mental juga mulai diambil alih oleh teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak membantu memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi sendi-sendi kehidupan manusia, bahkan dapat mengubah pola hidup manusia, sehingga dapat menggoyahkan dasar dan sendi kehidupan manusia. Hal ini disebabkan sains telah menyentuh eksistensi manusia. Menurut Buber (1959) dalam Soelaiman(1988) bahwa krisis antropologi disebabkan scientisme dan eksesnya telah menggoyahkan dan mengubah salah satu pola dasar kehidupan, yaitu hubungan antar manusia menjadi gersang. Berkat sains manusia telah berhasil menciptakan teknologi yang canggih, yang sangat kuat bagaikan raksasa, sehingga dapat mengancam kehidupan manusia. Keberadaan manusia seolah-olah dapat digantikan oleh mesin, kemanusiaan telah diotomatisasi. Manusia dapat dibuat sangat bergantung padanya. Bahkan keberadaan mesin/teknologi dianggap lebih penting daripada manusianya. Teknologi sudah menjadi berhala-berhala baru bagi manusia. Hal inilah yang menyebabkan manusia dapat hilang sifat manusianya atau sering disebut dehumanisasi manusia. Dengan demikian lambat laun revolosi sains dan teknologi dapat melahirkan permasalahan-permasalahan baru dibidang moral, religi dan budaya bangsa, bahkan ia ingin menempatkan diri diatas moral, religi dan budaya.
Kebudayaan dapat ditinjau dari dua hal, yaitu kebudayaan sebagai produk dan sebagai proses. Kebudayaan sebagai produk adalah realitas, sesuatu yang sudah diciptakan, sudah dihasilkan, sudah terbentuk, atau yang sudah dilembagakan. Kebudayaan sebagai proses merupakan proses yang sudah ada atau yang sedang berjalan. Menurut ahli ilmu sosial bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai sistem ide-ide, sebagai sistem tingkah laku dan sebagai perwujudan benda-benda budaya. Kebudayaan sebagai ide-ide bisa berkembang ke ide kognitif (sistem pengetahuan), atau ke ide-ide normatif (sistem nilai). Kebudayaan sebagai sistem tingkah laku penekanannya pada tingkah laku yang berpola sebagai hasil interaksi yang distabilkan dalam pranata sosial. Sedangkan kebudayaan sebagai perwujudan benda-benda, dapat dipandang sebagai alat yang menghubungkan manusia dengan alam( dan ini kemudian menghasilkan teknologi), atau sebagai sarana menghubungkan dengan orang lain.
Dilema kebudayaan muncul seiring perkembangan pembangunan bidang fisik, diantaranya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Membanjirnya produk-produk teknologi juga membawa dilema tersendiri. Semakin berhasil pembangunan fisik, semakin canggih persoalan sosial budayanya. Persoalan tidak sekedar lintas sektoral, tetapi sudah multi sektoral. Misalnya: dilema antara modern dan tradisional, antara desa dengan kota, antara pemerintah dan swasta dan masyarakat, pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Persoalan yang sangat actual adalah masuknya industrialisasi yang tak dapat tidak pasti membawa serta kebudayaan industri. Industri hanya bekerja pada prinsip standardisasi, produksi massal dan konsumsi massal. Hal ini berpengaruh pada standardisasi selera dan gaya hidup, akibatnya akan terjadi penyeragaman gaya hidup inilah yang disebut homogenisasi kebudayaan.
Untuk menghadapi perkembangan teknologi dan budaya yang kian cepat, kita sering bersikap ambivalen. Kita tak ingin proses ini serba diarahkan, tetapi juga bukan tanpa arah, kita tak ingin serba diatur, tetapi bukan tanpa aturan. Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan teknologi dan budaya perlu kiranya mengharap adanya banyak keterangan dan penjelasan yang sifatnya ilmiah, sehingga kita bisa mensikapinya dengan ilmiah. Menyikapi terhadap maraknya kebudayaan asing baik yang berupa ide, norma, nilai, simbol atau produk-produk teknologi yang lain, hendaknya kita adapteren yaitu beradaptasi dengan kebudayaan lokal, daerah ataupun nasional dan tidak sekedar adopteren. Tidak sekedar menerima mentah-mentah melainkan menyesuaikan dengan etika, moral, nilai, norma, budaya dan kebiasaan kita. Etika dan moral merupakan titik kritis sebagi penentu suatu system budaya yang terdiri dari perangkat makna dan nilai dapat diterjemahkan menjadi system social,yang berupa tindakan, perbuatan dan tingkah laku. Jika demikian halnya, maka system budaya benar-benar berfungsi baik sebagai landasan kognitif maupun normative. Budaya asing jangan diambil lipstiknya, tetapi ambillah isinya, makna dibalik lipstik. Ini berarti kita harus mengutamakan cara berfikir dan cara berbuat sesuatu dari pada hanya menerima atau mengambil alih produknya. Maka menyambut kenyataan tersebut kita perlu senantiasa menyadari bahwa betapa pun majunya teknologi, sebagai hasil karya manusia adalah perpanjangan bagi kemampuannya, dan bukan sebaliknya menjadikan manusia sebagai perpanjangannya. Betapapun lompatan dan terobosan menandai kemajuan teknologi, manfaatnya harus diukur dari sejauh mana martabat dan kesejahteraan manusia terangkat olehnya, dan bukan sebaliknya berakibat pudarnya nilai-nilai manusiawi.

II. Catatan dalam pergaulan sehari-hari
1. Anak-anak muda terutama dikota cenderung berpola hidup suka meniru, mudah berubah, sehingga mudah terpengaruh untuk mengikuti trend-trend terbaru, bersikap materialis (segala sesuatu dilihat dari kebendaan), hedonisme, konsumtif, tidak mempunyai pendirian, senang menfigurkan artis( keglamouran), kurang mengikuti tatanan social yang sudah ada, tatanan social yang ada dianggap kuno, kolot, tidak menghormat dan percaya pada orang tua ataupun orang yang dituakan, kehilangan daya kritisnya, kehilangan daya rasionalnya.
2. Kehidupan masyarakat terutama pada lapisan social menenga ke atas umumnya cenderung individualis, lebih mementingkan urusan pribadi dari pada urusan masyarakat, kebersamaan semakin hari semakin pudar, misalnya kegiatan kerja bhakti dan gotong royong di lingkungan digantikan dengan membayar pekerja.
3. Kegiatan silaturahmi dari rumah ke rumah sudah digantikan dengan telepon, handphone, SMS atau media yang lain. Warga masyarakat baik anak-anak, pemuda maupun orang tua terutama kalangan menengah ke bawah cenderung lebih suka menghabiskan waktu di rumah untuk nonton televisi, atau menikmati hiburan dari produk teknologi yang lain.
4. Untuk lapisan masyarakat bawah, kenduri yang biasanya sebagai ajang untuk bercengkerama sesama tetangga, mulai ditinggalkan. Karena sekarang makanan yang biasanya untuk kenduri bersama-sama diganti dengan diantar kerumah-rumah, sehingga lambat laun keakraban sesama tetangga akan sirna. Jangankan mau bercengkerama dengan tetangga, kenal dengan tetangga aja sudah merupakan suatu kelebihan.
5. Ketergantungan terhadap produk-produk industri sangat tinggi. Benda-benda teknopraktis sering dibeli bukan sebagai suatu kebutuhan, tetapi produk-produk teknologi tersebut sering dijadikan ukuran status social. Misal jika seseorang telah memiliki handphone yang terbaru dan termahal maka ia dikatagorikan termasuk status sosialnya menengah ke atas, yang paling maju, yang paling gaul. Begitu pula sebaliknya jika handphone yang dimiliki kurang canggih maka ia katagorikan status social rendahan., atau dianggap masyarakat kelas pinggiran. Demikian pula untuk benda-benda teknopraktis yang lain. Ini artinya masyarakat kita sudah termasuk hamba harta benda.
6. Masyarakat pada umumnya sudah kehilangan kepercayaan terhadap adat istiadat, budaya local, norma-norma kemasyarakatan, bahkan norma agamapun sering dianggap sebagai sesuatu yang membelenggu kehidupannya. Melakukan perbuatan yang terpuji sering merasa malu, tetapi jika berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan norma-norma dianggap suatu yang biasa. Misalnya: dulu bila ada gadis hamil diluar nikah, maka ia tidak berani keluar rumah hingga berbulan-bulan karena merasa malu, dan mencemarkan nama baik. Tetapi sekarang berbeda jauh, hamil diluar nikah dianggap sesuatu yang biasa, dan sudah tidak dipermasalahkan dalam masyarakat.
7. Anak-anak sekolah baik setingkat SMP maupun SMA era sekarang ini lagi menggandrungi benda-benda teknopraktis yang berupa antara lain MP3 ataupun MP4, MMC, HP yang berkamera atau HP 3G.
8. Tidak adanya satu kata, satu pikir, satu hati dan satu perbuatan. Acapkali dijumpai seseorang mengeluarkan perkataan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, sehingga sering menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Banyak orang sedang ngobral janji tetapi tidak dijalani atau dipenuhi, kalau menurut bahasa orang pondok salafiyah orang yang demikian disebut Kyai ”Jarkoni” yang artinya ”iso ngajar tetapi gak iso ngelakoni” (bisa mengajarkan tetapi tidak bisa menjalankannya.


2 komentar: